PTTOGEL — Suara kicauan burung menyambut sore di Taman Labuhan Mangrove Jung Koneng. Di atas jembatan kayu melingkar, seorang pria dengan kaos merah dan topi tampak memerhatikan sekelompok pengunjung. Ia adalah Mohamad Sahril, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Payung Kuning, yang dengan sigap mendekat dan mulai bercerita. Dari penuturannya, terungkap bahwa Labuhan Mangrove bukan sekadar tempat wisata biasa.
Destinasi yang Lahir dari Dunia Riset
Jauh sebelum dikenal sebagai tujuan rekreasi, kawasan ini telah hidup sebagai pusat penelitian. Berbagai perguruan tinggi ternama, seperti Universitas Brawijaya, ITS, dan Unair, rutin mengirimkan mahasiswanya untuk melakukan kajian. Topik penelitiannya beragam, mulai dari ekonomi pembangunan pesisir hingga ekosistem kelautan. Tak hanya dari dalam negeri, rombongan pertukaran pelajar dari mancanegara, termasuk Malaysia, juga pernah singgah di sini.
“Banyak mahasiswa atau lembaga organisasi datang untuk wisata edukasi, mengumpulkan bahan skripsi, meneliti terumbu karang, mangrove, atau lamun,” jelas Sahril.
Dampak Ekonomi yang Mengalir ke Masyarakat
Aktivitas riset yang rutin ini ternyata menjadi penggerak ekonomi desa yang nyata. Setiap perjalanan penelitian ke laut wajib menggunakan armada perahu sampan milik warga yang dikelola secara kolektif oleh Pokdarwis. Sistemnya terpusat dan transparan.
Pengunjung membayar biaya per orang yang sudah termasuk jaket pelampung. Penerimaannya kemudian dibagi antara kas kelompok dan pemilik perahu. Untuk paket satu hari penuh di laut, semua diatur oleh Pokdarwis.
“Feedback-nya kembali ke kelompok dan masyarakat. Kami punya armada sendiri seperti perahu sampan. Jadi, kalau mau ke laut, harus menyewa melalui kami. Untuk pengunjung, tarifnya Rp 50.000 per orang. Dari situ, Rp 10.000 untuk kas kelompok, dan Rp 40.000 untuk pemilik sampan. Jika booking satu sampan penuh, harganya sekitar Rp 650 ribu hingga Rp 700 ribu,” papar Sahril.
Snorkeling Tertutup, Fokus pada Penelitian
Perlu dicatat, kawasan laut ini belum dibuka untuk wisatawan umum. Aktivitas snorkeling masih ditutup, dan penyelaman hanya diperbolehkan untuk kepentingan penelitian ilmiah.
“Biasanya satu hari penuh untuk penelitian, seperti mengambil sampel plankton atau penyelaman di titik-titik tertentu. Yang kami buka saat ini khusus untuk penelitian, bukan untuk umum,” tegasnya.
Rantai Ekonomi yang Merata
Aliran ekonomi tidak berhenti di dermaga. Kebutuhan konsumsi rombongan penelitian dialihkan kepada warga setempat. Sebuah kelompok katering khusus dibentuk, dengan prioritas melibatkan keluarga berpenghasilan menengah ke bawah. Harganya disesuaikan, mengingat menu untuk mahasiswa dan dosen bisa berbeda. Sistem giliran diterapkan agar kesempatan merata bagi semua anggota. Untuk rombongan besar yang menginap, pembagian tugas seperti akomodasi dan logistik telah diatur sejak awal melalui daftar yang terstruktur.
“Dengan adanya aktivitas wisata edukasi ini, masyarakat sekitar benar-benar terbantu dan terberdayakan,” ujar Sahril.
Transformasi Ekologis dan Sosial
Perubahan paling signifikan justru terlihat pada perilaku masyarakat dan kondisi alam. Mangrove yang dahulu kerap ditebang kini dibiarkan tumbuh subur. Burung-burung yang sebelumnya diburu, kini tidak lagi diganggu.
Transformasi ini tidak lepas dari Program Taman Wisata Laut Labuhan yang dikembangkan oleh PT Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE WMO) di Desa Labuhan, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Program ini lahir sebagai respons atas kondisi memprihatinkan pada 2017, di mana tutupan karang hidup di perairan Labuhan hanya tersisa 10-25 persen. Abrasi pantai saat itu mencapai 5,24 meter per tahun, dan hasil tangkapan nelayan merosot drastis dari 30-40 kilogram menjadi kurang dari 10 kilogram per trip melaut.
Kini, Labuhan Mangrove menjadi bukti nyata bahwa pendekatan berbasis edukasi dan penelitian tidak hanya menyelamatkan ekosistem, tetapi juga menciptakan roda perekonomian berkelanjutan yang mengakar kuat di masyarakat.
